Bukannya tidak punya pendirian atau tidak punya prinsip hidup yang jelas, jika impian gue selalu berubah-ubah setiap saat. Sering sekali berubahnya impian itu, bahkan lebih sering dari pada seringnya gue ganti celana dalam, sangat sering.
Bahkan bisa jadi impian gue dipagi hari tak sama dengan impian gue di sore hari.
Tapi gue akan coba mengingat apa saja hal yang pernah gue impiin.
Waktu TK, gue ingin jadi power Rangers soalnya tontonan TV gue waktu itu ya Power Rangers, rasanya gue ingin membasmi semua kejahatan yang ada dimuka bumi. Termasuk temen-temen cowok yang njahilin temen-temen cewek gue. Gue pun dengan gagah berani melawan mereka dan hasilnya...gue kalah. Ternyata gue bukan power Rangers, dan saat gede, gue baru sadar ternyata Power Rangers itu hanyalah tokoh rekaan. Gue tidak akan bisa berubah bentuk walaupun gue udah mengikuti setiap gerakan yang diperagakan seorang pemeran rangers hingga ia berubah menjadi Rangers.
Waktu kelas 2 SD, waktu ibu guru gue tanya tentang cita-cita, gue dengan tegas menjawab gue ingin jadi Dokter, gue ingin mengobati setiap orang yang sakit. Dari sakit asma sampai sakit jiwa. Dari kerusakan hati sampai sakit hati. Tapi ternyata impian itu layu sebelum berkembang, gue nggak mungkin bisa jadi dokter karena jadi dokter harus nggak jijian sama sesuatu. Sedangkan gue mudah jijik sama sesuatu, ngeliat bangkai tikus aja nggak enak makan sampai 3 hari. 'kan nggak lucu kalau dokter menolak pasien cacar air karena ia jijik sama cacar air. Tapi alasan yang paling logis dari lunturnya cita-cita menjadi dokter adalah karena sekolah dokter itu mahal cuy. Hanya segelintir orang dari golongan menengah ke samping seperti keluarga gue yang bisa nguliain anaknya difakultas kedokteran.
Waktu gue kelas 4 SD, terbersit dipikiran gue untuk jadi seorang wartawan, gue pinter (baca: suka) nulis, khususnya.... buku harian. Gaya menulis buku harian gue yang sangat mendayu-dayu nan dramatis membuat setiap orang yang membacanya menitikkan air mata. Dan gue pun suka membaca. Kenapa gue nggak jadi wartawan? Dan bidang yang paling gue sukai adalah olahraga. So, sejak kelas 4 SD tersebut, gue banyak menulis tentang sepakbola.
Tapi, seorang teman memberi tahu gue kalau gaji seorang wartawan itu nggak segede gaji orang yang diwartakan. So, Impian untuk jadi wartawan pun menguap begitu saja.
Ya, orang yang diwartakan gajinya lebih besar dari pada yang mewartakan. Termasuk pula seorang pesepakbola. So impian gue berikutnya adalah ingin jadi pemain sepakbola. Harapan gue bila benenran jadi seorang pun Cuma satu:Membawa Indonesia tampil di Piala Dunia. Hal itu semakin dikuatkan dengan acara televisi yang paling gue gemari saat itu yaitu: Captain Tsubasa.
Gue pun rutin bermain sepakbola walaupun lawan main gue adalah...para sepupu kelas 4 SD. Itupun gue sering kalah.
Gue sadar, gue nggak bakat main bola, apalagi gue termasuk cowok metroseksual yang nggak mau kulitnya jadi item gara-gara kelamaan dilapangan bola. Walaupun sampai sekarang gue masih menyimpan asa untuk berduet dengan Fernando Torres di Manchester United (emangnye Torres main di MU, gan?).
Saat SMA, impian gue pun berubah, gue ingin jadi vokalis sebuah band. Ini tak lain dari pengaruh kesuksesan peterpan waktu itu, dan memang saat itu ngeband adalah merupakan suatu keharusan agar elo diterima dilingkungan lo. Lagipula, anak band digilai para gadis (katanya) tak peduli seberapa hancur muka anda. Tapi itu emang bener kok, lihat aja mantan voklais kerispatih, vokalis kangen band. Kemudian, lihat orangnya dan lihat deretan gadis yang pernah dipacari mereka.

Akhirnya gue bersama 3 teman yang lain membuat sebuah band yang kami namai "Iseng Band", tidak tahu nama iseng itu dari mana. tapi yang jelas, gue nggak sekedar iseng waktu ngebuat band ini. Tak tanggung-tanggung, kami bercita-cita membuat album rekaman walaupun satu lagupun belum juga bisa kita buat hingga iseng band ini akhirnya bubar. Jika anda yakin bahwa nama adalah sebuah doa. Jangan namakan band anda dengan nama yang sama dengan band kami.
Waktu kuliah, gue pernah sekali ikut pemilihan model yang diselenggarain kampus gue, dan gue adalah satu-satunya peserta cowok dalam lomba tersebut. Tidak menang, walaupun setelahnya banyak sms masuk ke HP gue. Dari fans tentunya. Mulai dari cuma ngajakin kenalan hingga yang sampai minta ketemuan. Tapi lo tahu nggak kenapa gue ikut kontes model tersebut? Tinggi badan gue ideal, 175 cm bro, kulit putih untuk ukuran indonesia lah, nggak bisa kulit gue dikatakan sawo matang, dan itu juga karena masa tersebut (sekitar semseter 2) adalah masa-masa yang alay, loe bisa lihat betapa alaynya gue di album-album foto di FB gue. Mulai dari yang pake cuma pake properti botol minuman ringan sampai yang pake properti Loadspesker. Dari yang pake jaket angkatan sampai yang telanjang dada (untuk yang telanjang dada udah gue hapus, soalnya banyak keluhan dari ibu rumah tangga yang mengeluhkan tingkah laku suami mereka jadi berubah usai melihat foto tersebut).
Gue kemudian berhenti dari cita-cita ini karena menurut gue jadi model tuh nggak asik. Kita cuma disuruh mondar-mandir kayak orang kehilangan uang dijalan. Dan yang paling nggak gue sukain dan yang akhirnya gue renungin, "berapa lama gue akan tetap cakep, berapa lama gue akan tetap berdiri tegap seperti ini." Tak lama kawan. Profesi model tidak menjanjikan pekerjaan yang berlangsung lama. Dan gue sadar ini hanyalah bagian dari proses gue menuju kedewasaan. Ini hanya bagian dari ke alay-an gue.
Lepas dari model, gue akhirnya gue harus fokus pada kuliah gue, jurusan gue...Pendidikan Kimia. Gue ingin suatu hari nanti jadi sosok pendidik (baca:guru) yang baik. Guru yang berhasil mencetak generasi emas untuk negeri ini.
Tapi, baru tadi pagi seorang teman bertanya tentang harapan gue di ulang tahun gue yang ke-21 ini. Dan gue menjawab: gue ingin punya cewek di tahun ke 21 gue menjadi seorang jomblo.
Ya, seorang cewek yang bisa menjadi ibu dari anak gue nantinya. (co cwiit)
Mischa Arifin